Saturday 8 December 2012

Meringkas Dan Mengidentifikasi Unsur-unsur Pada Cerpen


Blog Pelajaran-Lengkap kali ini akan mengeshare mengenai contoh ringkasan dan unsur-unsur intrinsik pada sebuah cerpen. Cerpen berikut yakni Cerpen yang berjudul Rapor yang saya ambil dari website Kolomkita dan dengan sedikit perubahan :

 Cerpen “ Rapor ”
Karya : BiruLangit

Diam-diam aku memerhatikannya dari tadi, gerak-geriknya terbaca jelas. Sangat jelas. Bahkan orang bodoh pun tahu, dia sangat gelisah. Dia baru tiba saat pembawa acara baru saja selesai membacakan agenda pertemuan hari ini. Rambut panjangnya yang tergerai berayun-ayun mengikuti langkahnya yang tergesa. Sesaat  dia berhenti di ambang aula. Matanya berkeliling mencari-cari tempat duduk yang kosong. Hanya kursi di barisan depan yang masih tersisa. Dengan enggan, tapi berusaha tetap terlihat elegan, dia pun mengambil tempat duduk di kursi pojok barisan depan. Jauh dari orang tua murid yang lain. Sedari tadi dia tidak tenang. Digeser-gesernya duduknya. Kadang ke kanan, kadang ke kiri, ke depan, ke belakang. Bolak-balik diangkatnya tangannya untuk menengok jam berlapis emas putih di pergelangan tangannya itu. Padahal sudah ada jam tergantung di dinding aula. Seakan dia ingin memastikan kalau jarum jam dinding itu sudah berputar sebagaimana seharusnya. Sesekali dihelanya nafasnya.


Sebentar kaki kanannya disilangkan ke kaki kirinya. Sebentar kemudian diturunkannya. Kini kedua kaki langsingnya sedang mengetuk-ngetuk lantai tanpa irama. Sementara itu kepalanya terus berkeliling. Sekilas dapat kulihat setitik keringat meluncur di dahinya yang putih mulus. Tentu saja keringat itu tak akan melunturkan riasannya.

Aku terpaksa mengangguk (sok) ramah padanya ketika tatapan kami bertemu. Sekedar untuk menyembunyikan seringai yang terlanjur muncul di ujung bibirku. Dia membalasku dengan anggukan dan senyuman teramat tipis sembari dengan angkuh mengangkat dagunya. Sesaat kemudian aku berpaling, kembali berlagak serius mendengarkan paparan kepala sekolah mengenai pencapaian- pencapaian sekolah kami di tahun ajaran ini. Paparan yang terlalu panjang dan terlalu lebar. Membosankan. Kenapa tidak langsung ke menu utama saja, pengambilan rapor. Aku sudah tak sabar.

Tinggal kami bertiga di ruang kelas ini. Aku yang sedang melayani Bu Mira, dan dia yang duduk dengan gelisah di deretan kursi tunggu yang kosong. Perilaku gelisahnya sama persis dengan sewaktu dia ada di aula tadi:  digeser-geserkannya, kaki ditopangkan bergantian kalau tidak diketuk-ketukan di lantai, pandangan berkeliling atau menunduk berlagak mencari-cari sesuatu dalam tas, maupun jam tangan yang berkali-kali ditengoknya. Dagunya mendongak setiap kali mata kami bersitatap. Dasar angkuh! Aku tahu dia sedang memakiku habis-habisan dalam hatinya. Biar saja, memang kusengaja. Setelah pertemuan di aula selesai, para orang tua dipersilakan masuk ke ruang kelas anak mereka masing- masing untuk menerima pembagian rapor. Dan kira-kira sejak dua jam yang lalu dia sudah duduk di sini menunggu giliran kupanggil menghadapku untuk mendapatkan rapor anaknya. Dari lima belas muridku, anaknya memang nomor absen terakhir. Jadi bukan salahku jika sampai saat ini dia belum juga kupanggil. Aku baru sampai nomor absent empat belas. Rachel, anak Bu Mira. Hanya saja, aku memang sengaja berlama-lama berbincang dengan setiap orang tua murid. Kujelaskan sampai sedetail- detailnya perkembangan anak mereka selama satu tahun ajaran ini. Hal yang tidak perlu kulakukan sebenarnya. Perkembangan setiap anak didik sudah tercantum dalam rapor khusus kami yang berupa laporan narasi deskriptif. Belum lagi jika kebetulan sang orang tua murid memang suka ngobrol, pembicaraan bisa melebar sampai ke mana-mana. Seperti yang sedang kulakukan dengan Bu Mira ini.

“Ibu ini bisa aja!” Bu Mira tertawa panjang. Muka putihnya bersemu  merah. Bu Mira bercerita kalau Rachel baru saja menjadi juara satu lomba wajah fotogenik. Aku bilang pantas saja, karena dia mewarisi kecantikan ibunya. Gombal sekali memang, tapi yang seperti ini orang tua murid suka. Dimasukkannya rapor, laporan perkembangan, dan beberapa lembar pengumuman ke dalam tas, lalu dikeluarkannya sebuah bungkusan dari dalam tasnya. “Rachel sendiri yang memilih, Bu. Semoga suka!” Tangannya mengangsurkan sebuah kotak kecil yang terbungkus kertas kado bergambar kartun Naruto. “Aduh, malah merepotkan!” kataku berbasa-basi, “terima kasih banyak lho, Bu!” “Ah, biasa aja ! Terima kasih banyak Bu, sudah membimbing Rachel. Maaf, sudah banyak merepotkan!” “Tidak apa-apa, Bu, sudah menjadi tugas saya!” Jawaban ini sudah secara mekanis keluar dari mulutku setiap semesternya. “Mari Bu, saya permisi!” Bu Mira beranjak keluar ruang kelas. “Terima kasih, Bu. Salam buat Rachel!” Kutumpukkan bingkisan dari Bu Mira di atas bingkisan-bingkisan orang tua murid sebelumnya. Selain bingkisan-bingkisan itu ada beberapa amplop di dalam laci mejaku. Hatiku bertanya-tanya, apa gerangan yang dibawa oleh perempuan yang kini sedang melangkah menghampiriku ini. Setelah parcel segede gunungnya yang kukembalikan seminggu yang lalu! Hari gini menyogok guru agar mau mengatrol nilai! Rupanya dia sudah merasa rapor anaknya bakalan jelek. Ardian, anaknya, memang berkebutuhan khusus. Gangguan konsentrasinya membuatnya sulit mengikuti pelajaran. Nilai-nilainya selalu di bawah teman-temannya. Tidak hanya itu, agaknya dia juga mulai sadar kalau kelakuannya padaku selama ini bisa saja membuatku mengurangi nilai-nilai anaknya. Sebenarnya kesempatan ini sudah kutunggu-tunggu. Pembalasan dendamku untuk perempuan ini. Di sinilah ajang pembuktianku bahwa aku bukan orang sembarangan. Bahwa aku punya kekuasaan. Kalau sebenarnya dia tidak bisa macam- macam denganku. Sebagian masa depan anaknya aku yang menentukan. “Mari, Bu, silakan duduk!” Tanpa sepatah kata dia hanya tersenyum tipis, duduk di hadapanku. Senyum bernada segan. Bukan senyum sinis seperti yang beberapa kali dilemparkannya padaku, saat dia mencercaku. Untuk penilaian- penilaiannya padaku: guru konvensional, guru pilih kasih, guru yang kurang perhatian, dan lain-lain. Aku berlagak sibuk menyiapkan rapor, laporan perkembangan, dan beberapa lembar pengumuman yang akan kuberikan kepadanya. Sedangkan sudut mataku mencuri- curi pandang wajah cemasnya. Wajahnya yang pucat. Seperti aku ini hantu baginya.

Dalam hatiku tertawa. Mati kau, kutukku. Kutumpukkan berkas-berkas yang akan kuberikan padanya di sudut meja. “Selamat pagi, Bu!” Kataku sambil menjabat tangannya yang dingin. Tangan yang pernah melemparkan kertas ulangan anaknya ke mukaku, sembari berkata kalau percuma saja bayar mahal-mahal kalau lagi lagi dapat nilai lima puluh. Tanganku menjadi ikut basah oleh keringat di telapak tangannya. “Pagi …, pagi Bu,” jawabnya tanpa bisa mengatasi kegugupannya. Lagi-lagi dalam hatiku tertawa. Teringat aku bagaimana dia meneleponku malam-malam, tanpa ucapan selamat malam, hanya untuk menanyakan keberadaan pensil atau penghapus anaknya yang hilang. Setengah mati aku berusaha menyembunyikan tawaku. “O ya, Bu. Mohon maaf sebelumnya. Kemarin terpaksa saya mengembalikan bingkisan Ibu. Bukannya apa-apa, Bu. Peraturan sekolah melarang guru menerima bingkisan dari orang tua murid sebelum rapor dibagikan. Saya tidak berani melanggarnya, Bu. Semoga Ibu maklum.” Padahal mana ada sekolah mengatur perihal itu. Macam pejabat saja, dilarang menerima gratifikasi. “Tidak apa-apa, Bu. Saya yang minta maaf. Saya tidak tahu ada peraturan seperti itu di sini. Di sekolah Ardian yang dulu diperbolehkan. Saya hanya bermaksud mengucapkan terima kasih saja.” Dia menelan ludah sebentar. “O ya, bagaimana Ardian, Bu Lily?” Wajahnya terlihat sangat memelas. Layaknya pengemis yang sudah tiga hari tidak makan memohon sedekah saja. Ke mana gerangan dongakan dagunya yang angkuh itu? Ho ho, betapa aku rindu! Kuambil tumpukan berkas di sudut meja. Sengaja tidak segera kuserahkan kepadanya. “Mohon maaf, Bu. Sejak kepindahan Ardi awal semester dua ini, saya sudah berusaha sebaik mungkin membimbing Ardi ….” Kalimatku menggantung. Berkas-berkasnya masih di tanganku. Wajahnya seperti orang yang sudah mati saja. Seperti tidak ada lagi darah yang mengalir di pembuluh darahnya. Matanya berkaca-kaca. Bibirnya gemetar. “Ja … jadi … bagaimana, Bu? Bisa tidak naik ke kelas tiga?” Pertanyaannya lebih terdengar sebagai ratapan.

Tapi aku tidak juga jatuh iba. Seperti ketika dia memohonku untuk melupakan apa yang pernah dilakukannya padaku. Mengiba-iba meminta maaf. Semata-mata karena dia takut sakit hatiku akan mempengaruhi nilai rapor anaknya. Ataupun ketika seminggu  yang lalu dia memohonku “kebijaksanaanku” untuk menaikkan anaknya. Dia tidak tahu di mana dia akan menaruh mukanya jika anaknya lagi-lagi tidak naik kelas. Berkas-berkasnya masih kutahan. Biar kunikmati dulu penderitaannya ini. Nikmat, sungguh nikmat! “Seperti yang Ibu ketahui sebelumnya, sekolah kita memang berbeda dengan sekolah yang lain, Bu. Berbeda dari sekolah Ardi sebelumnya. Dari segi metode maupun substansi pembelajarannya. Tapi tetap saja kita mengacu pada peraturan dinas pendidikan, karena kita pakai kurikulum nasional, Bu. Mungkin Ibu juga sudah tahu. Sebagai syarat kenaikan kelas, rata-rata nilai rapor siswa semester satu dan dua tidak boleh lebih dari,” sengaja kuberi penekanan, “empat mata pelajaran yang di bawah KKM…” Akhir kalimatku kembali menggantung. Manusia di hadapanku ini semakin terlihat mengenaskan. Butir-butir keringat meluncur di dahinya. Sebagian sudah sampai di pipinya. Ada kemungkinan dia sudah akan pingsan dulu sebelum aku menyelesaikan penjelasanku ini. Bahagianya, siang ini aku merasa menjadi Tuhan. Kubuka rapor Ardi. Kuhadapkan ke arahnya. “Semester ini Bu, nilai Ardi kurang memuaskan. Seperti yang Ibu lihat di sini.” Kutunjuk dengan jariku. “Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, dan SBK ada di bawah KKM. Jadi ada lima mata pelajaran yang ada di bawah KKM ….” Tangannya sampai gemetar menerima buku rapor ini. “Tidak naik, Bu? Benar-benar tidak bisa ditolong?” Kalau teringat bagaimana dia mengangkat dagunya, ekspresinya kali ini tampak begitu menggelikan. Kubuka halaman sebelumnya, rapor semester satu. “Semester satu juga ada lima mata pelajaran yang di bawah KKM. PKn, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, dan SBK ….” Sengaja aku berhenti untuk memandang wajahnya. Aih, aih. Seperti habis kecopetan uang semilyar! Dia membolak-balik halaman rapor anaknya. “Lima mata pelajaran, ya?” Suaranya tersendat di kerongkongan. Aku tersenyum. Lebar. Kini tidak kututup-tutupi. “Lima, Bu ….” Matanya nanar menatap angka- angka itu. Senyumku semakin lebar. “Ibu, tapi setelah dirata-rata, ternyata hanya empat mata pelajaran saja yang di bawah KKM. Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, dan SBK ….” Dia melongo, tak menyangka. “Ja … jadi … Bu?” Kini aku ingin tertawa. “Masih naik, Bu. Walau mepet ….” Seketika wajahnya menjadi bercahaya. Berbinar-binar, seperti seribu kunang-kunang beterbangan mengitarinya. “Syukurlah!” Dia tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. “Syukurlah!” Dia mendekap rapor anaknya dalam dadanya itu. “Syukurlah!” Aku manusia biasa, aku menyimpan dendam. Aku pun pantas membencinya, karena aku punya harga diri. Tapi aku juga masih punya nurani. Tidak mungkin aku mengubah angka- angka itu. Walaupun hal itu sebenarnya sangat mudah bagiku. Tidak akan ada seorang pun yang bertanya mengapa anak itu tinggal kelas. Dunia akan memakluminya. Sudahlah. Aku sudah sangat puas melihat perempuan yang angkuh itu hampir mati ketakutan. Itu saja cukup. Dendamku sudah terbalaskan Hahaha.


RINGKASAN

                  Aku memerhatikannya dari tadi, Bu Dina sangat gelisah. Dia baru tiba saat pembawa acara baru saja selesai membacakan agenda pertemuan pagi ini. Matanya berkeliling mencari-cari tempat duduk yang kosong. Hanya kursi di barisan depan yang masih tersisa. Dengan enggan, tapi berusaha tetap terlihat elegan, dia pun mengambil tempat duduk di kursi pojok barisan depan. Jauh dari orang tua murid yang lain. Digeser-gesernya duduknya. Kadang ke kanan, kadang ke kiri, ke depan, ke belakang. Bolak-balik diangkatnya tangannya untuk menengok jam berlapis emas putih di pergelangan tangannya itu. Padahal sudah ada jam tergantung di dinding aula. Sesekali dihelanya nafasnya.

                Aku mengangguk ramah padanya ketika tatapan kami bertemu. Dia membalasku dengan anggukan dan senyuman teramat tipis sembari dengan angkuh. Sesaat kemudian aku berpaling, kembali berlagak serius mendengarkan paparan kepala sekolah mengenai pencapaian- pencapaian sekolah kami di tahun ajaran ini. Paparan yang terlalu panjang dan terlalu lebar. Meskipun begitu aku tetap sabar. Setelah pertemuan di aula selesai, para orang tua dipersilakan masuk ke ruang kelas anak mereka masing- masing untuk menerima pembagian rapor.
            Tinggal kami bertiga di ruang kelas ini . Aku yang sedang melayani Bu Mira, dan dia yang duduk dengan gelisah di deretan kursi tunggu yang kosong. Dagunya mendongak setiap kali mata kami bersitatap. Dasar angkuh! Aku tahu dia sedang memakiku habis-habisan dalam hatinya. Dan kira-kira sejak dua jam yang lalu dia sudah duduk di sini menunggu giliran kupanggil untuk mendapatkan rapor anaknya. Dari lima belas muridku, anaknya memang nomor absen terakhir.

            Aku baru sampai nomor absent empat belas. Rachel, anak Bu Mira. Hanya saja, aku memang sengaja berlama-lama berbincang dengan setiap orang tua murid. Kujelaskan sampai sedetail- detailnya perkembangan anak mereka selama satu tahun ajaran ini.

                 Kini  perempuan itu  sedang melangkah menghampiriku. Setelah parcel segede gunungnya yang kukembalikan seminggu yang lalu! “Hari gini menyogok guru agar mau mengatrol nilai!” Rupanya dia sudah merasa rapor anaknya bakalan jelek. Ardian, anaknya, memang berkebutuhan khusus. Dia sulit mengikuti pelajaran. Nilai-nilainya selalu di bawah teman-temannya.  Sebenarnya kesempatan ini sudah kutunggu-tunggu. Pembalasan dendamku untuk perempuan ini. Di sinilah ajang pembuktianku bahwa aku bukan orang sembarangan. Bahwa aku punya kekuasaan. “Mari, Bu, silakan duduk!” Tanpa sepatah kata dia hanya tersenyum tipis, duduk di hadapanku. Senyum bernada segan. Bukan senyum sinis seperti yang beberapa kali dilemparkannya padaku, saat dia mencercaku. Untuk penilaian- penilaiannya padaku: guru konvensional, guru pilih kasih, guru yang kurang perhatian, dan lain-lain. Aku berlagak sibuk menyiapkan rapor, laporan perkembangan, dan beberapa lembar pengumuman yang akan kuberikan kepadanya. Sedangkan sudut mataku mencuri- curi pandang wajah cemasnya. Wajahnya yang pucat. Seperti aku ini hantu baginya.
            “Selamat pagi, ibu Dina !” Kataku sambil menjabat tangannya yang dingin. Tangan yang pernah melemparkan kertas ulangan anaknya ke mukaku, sembari berkata kalau percuma saja bayar mahal-mahal kalau lagi lagi dapat nilai lima puluh. Tanganku menjadi ikut basah oleh keringat di telapak tangannya. “Pagi …, pagi Bu,” jawabnya dengan gugup.  Sayapun berkata : “O ya, Bu. Mohon maaf sebelumnya. Kemarin terpaksa saya mengembalikan bingkisan Ibu. Bukannya apa-apa, Bu. Peraturan sekolah melarang guru menerima bingkisan dari orang tua murid sebelum rapor dibagikan, Semoga Ibu maklum
             “Tidak apa-apa, Bu. Saya yang minta maaf. Saya tidak tahu ada peraturan seperti itu di sini. Saya hanya bermaksud mengucapkan terima kasih saja.” “O ya, bagaimana Ardian, Bu Lily?” Wajahnya terlihat sangat memelas. Layaknya pengemis yang sudah tiga hari tidak makan memohon sedekah saja. Ke mana gerangan dongakan dagunya yang angkuh itu? Ho ho, betapa aku rindu! Kuambil tumpukan berkas di sudut meja. Sengaja tidak segera kuserahkan kepadanya. “Mohon maaf, Bu. Sejak kepindahan Ardi awal semester dua ini, saya sudah berusaha sebaik mungkin membimbing Ardi ….” Kalimatku menggantung. Berkas-berkasnya masih di tanganku. Wajahnya seperti orang yang sudah mati saja. Suasanana menjadi menegangkan buat Bu Dina. Seperti tidak ada lagi darah yang mengalir di pembuluh darahnya. Matanya berkaca-kaca. Bibirnya gemetar. “Ja … jadi … bagaimana, Bu? Bisa tidak naik ke kelas tiga?” Pertanyaannya lebih terdengar sebagai ratapan.

           
              “Seperti yang Ibu ketahui sebelumnya, sekolah kita memang berbeda dengan sekolah yang lain, Bu. Berbeda dari sekolah Ardi sebelumnya. Dari segi metode maupun substansi pembelajarannya. Tapi tetap saja kita mengacu pada peraturan dinas pendidikan, karena kita pakai kurikulum nasional, Bu. Mungkin Ibu juga sudah tahu. Sebagai syarat kenaikan kelas, rata-rata nilai rapor siswa semester satu dan dua tidak boleh lebih dari,” sengaja kuberi penekanan, “empat mata pelajaran yang di bawah KKM…”
            Akhir kalimatku kembali menggantung. Manusia di hadapanku ini semakin terlihat mengenaskan. Butir-butir keringat meluncur di dahinya. Kubuka rapor Ardi. Kuhadapkan ke arahnya. “Semester ini Bu, nilai Ardi kurang memuaskan. Seperti yang Ibu lihat di sini.” Kutunjuk dengan jariku. “Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, dan SBK ada di bawah KKM. Jadi ada lima mata pelajaran yang ada di bawah KKM ….” Tangannya sampai gemetar menerima buku rapor ini. “Tidak naik, Bu? Benar-benar tidak bisa ditolong?” Kalau teringat bagaimana dia mengangkat dagunya, ekspresinya kali ini tampak begitu menggelikan. Kubuka halaman sebelumnya, rapor semester satu. “Semester satu juga ada lima mata pelajaran yang di bawah KKM. PKn, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, dan SBK ….” Sengaja aku berhenti untuk memandang wajahnya. Aih, aih. Seperti habis kecopetan uang semilyar! Dia membolak-balik halaman rapor anaknya. “Limaa ma..ta pelaja..ran, ya?” Suaranya tersendat di kerongkongan.
            Aku tersenyum. Lebar. Kini tidak kututup-tutupi. “Lima, Bu ...” Matanya nanar menatap angka- angka itu. Senyumku semakin lebar. “Ibu, tapi setelah dirata-rata, ternyata hanya empat mata pelajaran saja yang di bawah KKM. Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, dan SBK.. .” Dia melongo, tak menyangka. “Ja  jadi .. Bu?” Kini aku ingin tertawa. “Masih naik, Bu. Walau mepet ….” Seketika wajahnya menjadi bercahaya. Berbinar-binar, seperti seribu kunang-kunang beterbangan mengitarinya. “Syukurlah!” Dia tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. “Syukurlah!” Dia mendekap rapor anaknya dalam dadanya itu. “Syukurlah!” Aku manusia biasa, aku menyimpan dendam. Aku pun pantas membencinya, karena aku punya harga diri. Tapi aku juga masih punya nurani. Tidak mungkin aku mengubah angka- angka itu. Walaupun hal itu sebenarnya sangat mudah bagiku. Tidak akan ada seorang pun yang bertanya mengapa anak itu tinggal kelas. Dunia akan memakluminya. Sudahlah. Aku sudah sangat puas melihat perempuan yang angkuh itu hampir mati ketakutan. Itu saja cukup. Dendamku sudah terbalaskan. 

UNSUR INSTRINSIK

TEMA : Pendidikan
LATAR :
Latar Tempat
Di Aula
Bukti pada kalimat : Padahal sudah ada jam tergantung di dinding aula. Sesekali dihelanya nafasnya.
Di Ruang Kelas
Bukti pada kalimat: Tinggal kami bertiga di ruang kelas ini. Aku yang sedang melayani Bu Mira, dan dia yang duduk dengan gelisah di deretan kursi tunggu yang kosong
Latar Waktu
Di waktu Pagi hari
Bukti pada kalimat : Dia baru tiba saat pembawa acara baru saja selesai membacakan agenda pertemuan pagi ini
Latar Suasana
Menegangkan
 Bukti pada kalimat : Suasana menjadi menegangkan buat Bu Dina. Seperti tidak ada lagi darah yang mengalir di pembuluh darahnya.

ALUR : Maju
Pengantar : Acara pertemuan Orang Tua murid diawali di Aula yang dipimpin oleh Kepala Sekolah
Penampilan Masalah : Tiba saatnya Orang Tua dari Ardi, dipanggil untuk mengambil rapor
Klimaks : Bu Lily mengatakan bahwa nilai rapor Ardi pada semester itu kurang memuaskan, ada lima mata pelajaran yang dibawah KKM. Tiba saatnya Bu Lily mengumumkan apakah Ardi naik kelas atau tidak.
Resolusi : Ternyata setelah dirata-rata, ada 4 pelajaran yang dibawah KKM sehingga Ardi dinyatakan naik kelas.

TOKOH DAN PERNOKOHAN

Aku /Bu Lily - Sebagai Guru Kelas :

PERHATIAN
         Bu Lily selalu memerhatikannya tingkah laku Bu Dina yang sangat gelisah
RAMAH
         Menganguk, Menyapa, dan memberi salam dengan ramah kepada Bu Dina
BIJAKSANA
         Bertindak bijkasana dan tegas seperti menolak bingkisan dari Bu Dina, dimana sebenarnya Bingkisan dari Bu Dina itu diberikan untuk mengkatrol nilai anaknya

Bu Dina – Sebagai Orang Tua dari Ardi :

ANGKUH
         Membalas salam Bu Lily dengan angkuh
TIDAK SABARAN
         Tidak sabar menunggu dan sangat gelisah terhadap hasil Rapor anaknya

HAL YANG MENARIK
Ketika akan diberitahukan nilai rapor, Bu Dina sangat pucat dan Bu Lily memberitahu bahwa ada 5 nilai di bawah KKM sedangkan syarat minimum naik kelas minimal ada 4 nilai di bawah KKM. Untungnya setelah dirata-rata hanya ada 4 nilai di bawah KKM sehingga Ardi dinyatakan Naik Kelas. Hal ini tentunya membuat Bu Dina sangat gembira.




Bagi yang ingin mendownload file powerpointnya silahkan klik
Password : pelajaran-lengkap.blogspot.com




Facebook Twitter Google+

1 komentar:

yang gak naik keloas
HASBI TABLO

 
Back To Top