Friday 30 June 2017

Akulturasi Peninggalan Masa Islam di Indonesia

Akulturasi dalam bangunan peninggalan bersejarah pada masa penyebaran agama Islam di Indonesia. Bangunan peninggalan bersejarah pada masa Islam di Indonesia antara lain masjid, makam, keraton/istana, pesantren, padepokan, dan lain-lain.

Masjid

Masjid merupakan tempat peribadatan bagi para umat muslim. Seiring dengan penyebaran agama Islam di Indonesia, masjid-masjid mulai banyak dijumpai terutama di kota-kota pusat kerajaan/pemerintahan. Salah satu ciri khas masjid pada masa kerajaan islam yakni masjid-masjid tersebut biasanya diletakkan di sebelah barat alun-alun pusat pemerintahan dan dekat dengan istana/keraton. Hal ini sebagai lambang bersatunya pemimpin kerajaan, pemimpin agama, dan rakyat. Masjid-masjid kuno tersebut memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan masjid-masjid yang ada di luar negeri. Hal ini bisa dilihat dalam bentuk dan gaya arsitekturnya yang khas.

Berikut ini adalah ciri khas masjid-masjid kuno di Indonesia :
  1. Denah dasar masjid berbentuk persegi empat
  2. Berdiri di atas pondasi padat yang agak tinggi
  3. Atap yang bertumpang dan meruncing ke atas yang terdiri dari dua sampai dengan lima tingkat 
  4. Tidak memiliki menara
  5. Memiliki serambi yang terbuka ataupun tertutup di bagian depan masjid atau ada juga yang di kedua sisinya
  6. Bagian depan atau samping biasanya ada kolamnya
  7. Di sisi barat atau barat  laut terdapat bangunan yang menonjol untuk mihrab
  8. Halaman di sekitar masjid dikelilingi oleh tembok dengan satu atau dua pintu gerbang yang disebut gapura (Pijper, 1984: 15)
Salah satu karakteristik masjid kuno di Indonesia adalah memiliki atap yang bertumpang. Hal ini merupakan peniruan dengan bentuk bangunan meru. Bangunan meru merupakan bangunan yang dianggap suci sebagai tempat para dewa pada masa Hindu-Buddha di Indonesia. Sebelum berkembangnya agama Islam di Indonesia, bentuk seperti meru sudah diterapkan pada Candi Surawana, Candi Penataran, Candi Jago, Candi Jawi, Candi Kedaton, serta pura-pura di Bali. Adanya bentuk seperti meru pada masjid-masjid kuno di Indonesia merupakan salah satu bentuk akulturasi dengan tujuan agar menarik masyarakat sekitar yang tidak beragama islam untuk beralih ke agama Islam, sehingga tidak menimbulkan culture shock.

karakteristik masjid kuno indonesia

Selain itu masjid-masjid kuno di Indonesia, umumnya tidak memiliki menara untuk mengumandangkan adzan. Jika akan menandai datangnya waktu sholat, maka akan membunyikan bedug dan kentongan. Bedug dan kentongan tidak ditemui di masjid-masjid di timur tengah karena bedug dan kentongan merupakan budaya asli Indonesia. Pada awalnya, kebiasaan memukul bedug dan kentongan tidak ada hubungannya dengan agama Islam. Mulanya, kebiasaan memukul bedug dan kentongan untuk memberitahukan adanya suatu kejadian yang membahayakan.

Hasil akulturasi juga dapat terlihat begitu nyata pada Masjid Menara Kudus. Masjid Menara kudus merupakan masjid yang didirikan pada tahun 1549 oleh Sunan Kudus. Bentuk masjid ini merupakan akulturasi dari budaya Hindu dengan Budaya Islam. Hal ini terlihat pada menaranya yang berbentuk candi. Menaranya terdiri atas tiga bagian : kaki, badan, dan puncak. Pada bagian kaki dan badan, terdapat ukiran khas budaya Jawa-Hindu. Selain itu masjid ini memiliki pintu gapura pada serambi depannya dan memiliki delapan buah pancuran wudhu. Konon, jumlah ini mengadopsi Asta Sanghika Marga (Delapan Jalan Kebenaran) yang merupakan keyakinan dari Buddha. Di dekat pancuran wudhu ini juga diletakkan arca.

Ada dua jenis pintu gerbang yang biasa diletakkan di masjid-masjid kuno di Indonesia. Kedua jenis pintu gerbang tersebut adalah Candi Bentar dan Kori Agung (Paduraksa). Kori Agung bentuknya menyerupai bentuk candi dan pada bagian atasnya memiliki atap. Sementara itu Candi Bentar tidak memiliki atap. Kori Agung biasa ditempatkan di bagian tengah halaman sedangkan candi bentar diletakkan di bagian halaman depan.

Candi bentar dan paduraksa sebenarnya sudah dikenal sejak zaman majapahit, hal ini dapat diketahui dari adanya wringin lawang yang merupakan pintu gerbang (jalan masuk) ke kota majapahit di Trowulan. Selain itu, candi bentar dan kori agung juga ditemukan di kompleks Candi Panataran. Selain digunakan pada masjid, candi bentar dan kori agung juga diletakkan di keraton (contohnya Keraton Kasepuhan, Keraton Yogyakarta, Keraton Surakarta), makam, (contohnya kompleks makam Sunan Gunung Jati, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Muria) dan taman (contohnya Taman Sunyaragi Cirebon).

Makam

Adanya makam mulai dikenal semenjak hadirnya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Makam tersebut tentu difungsikan sebagai tempat dikuburkannya para raja, wali, ulama, ataupun tokoh lain yang dianggap perlu dihormati dari suatu kerajaan Islam. Biasanya makam orang-orang yang dianggap suci akan diletakan di sekitar masjid sebagai contoh makam raja-raja kesultanan Demak ada di dekat Masjid Agung Demak, makam raja-raja Mataram ada di dekat Masjid Besar Mataram, makam sultan palembang ada di Masjid Sultan Agung, Palembang.

Selain diletakkan di sekitar masjid, makam  tokoh-tokoh penting juga ada yang diletakkan di tempat-tempat yang tinggi misalnya di bukit atau gunung, hal ini menunjukan bahwa kedudukan orang yg dimakamkan tersebut lebih tinggi dibandingkan rakyat. Tradisi menempatkan makam di tempat yang tinggi sebenarnya merupakan tradisi kebudayaan nenek moyang sejak zaman Megalithikum. biasa kesinambungan tradisi yang mengandung unsur kepercayaan pada roh-roh nenek moyang yang sudah dikenal pada zaman Megalithikum. Sebagai contoh, makam Syarif Hidayatullah atau yang biasa dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati, ditempatkan di bukit kecil yang bernama Gunung Sembung dan makam raja-raja Mataram ada bukit Imogiri.

Dalam pemakaman raja-raja di Indonesia, terdapat tradisi yang sejatinya bukan merupakan ajaran Islam. Contohnya, penggunaan peti sebagai tempat dimasukannya jenazah dan peletakkan bunga-bunga di atas kubur. Selain itu, pada hari setelah meninggal yakni hari ketiga, hari ketujuh, hari keempatpuluh, 100 hari, 1 tahun, 1000 hari, juga diadakan sajian dan selamatan dengan menggunakan doa-doa secara Islam. Sebenarnya saji-sajian dan selamatan ini merupakan akulturasi dari kebudayaan Hindu. Setelah seribu hari, kuburan akan diperkuat dengan batu dan dibuatkan bangunan sebagai pelindung makam yang disebut cungkup.

Selain itu, nisan pada makam-makam raja-raja kerajaan Islam juga menunjukan bentuk akulturasi. Pada puncak nisan umumnya menunjukan beragam bentuk yang menyerupai bentuk candi dan stupa yang merupakan kebudayaan Hindu-Buddha. Sementara itu hiasan dan motif pada nisan tersebut merupakan kombinasi dari seni hias Islam berupa kaligrafi dan seni hias budaya lokal yang berupa pola floralistik.

Contoh nyata yang menunjukan bentuk akulturasi yakni pada makam Sunan Gunung Jati, terdapat motif sisi awan dengan pola wadasan yang merupakan seni hias dari Majapahit. Ada juga nisan kubur yang ditemukan di Samudera Pasai dan Aceh yang memiliki kaligrafi, syair, dan motif bunga asli aceh yang disebut boengong awan si tangke. Nisan kubur di kompleks maka di Demak memiliki hiasan dengan pola lambang kekayon dan floralistik. Di Troloyo ada juga nisan kubur yang pinggirannya diberi hiasan lengkung kala makara dimana kala makara berasal dari kebudayaan Hindu.

Catatan : Artikel ini merupakan bagian dari penggalan Tugas Mata Kuliah MPKT-A 2016 yang ditulis oleh penulis (Ari Tri) dengan berbagai sumber referensi . 

Facebook Twitter Google+

 
Back To Top